Ibu suka sekali bereksperimen dan membuat kue di dapur. Favoritku tentu saja kukis red velvet dan brownies cokelat buatannya. Rasanya manis, legit, dan lembut di mulut. Terkadang aku juga membawanya untuk bekal di sekolah dan dengan bangga membagikannya ke beberapa temanku. Ibuku memperlakukan setiap alat dan bahan dengan baik dan hati-hati, ia timbang dan sayang sayang mereka seperti anak kecil. Ibu selalu mengerjakannya dengan sepenuh hati. Apa pun yang dibuat ibu pasti rasanya enak dan memuaskan. Mungkin ibu merapal semacam mantra yang membuatku tak ingin berhenti menikmati hasil kue buatannya.
Aku senang sekali karena ibu tidak pernah melarangku menginterupsi kegiatannya di dapur. Ia membiarkanku membantunya mengaduk adonan, menghias kue, sampai bersih bersih. Ibu tidak mempermasalahkan anak laki-lakinya ikut berkutat di dapur. Baginya urusan dapur adalah cara manusia untuk bertahan hidup, ia tidak pernah membeda bedakan baik itu laki-laki maupun perempuan. Keren sekali ya pemikiran ibuku. Sebenarnya dapur rumahku tidak begitu besar, tetapi rasanya tetap saja terlihat luas untuk kami berdua. Di sana banyak sekali buku resep dan beberapa notes kecil yang ditempel di lemari pendingin. Di sudut dapur ada oven milik ibu yang sudah agak berkarat tapi masih layak dipakai.
Aku selalu tidak sabar menunggu kue kue itu matang dan sesekali mengintipnya. Lalu saat itu terjadi ibu akan mengomel dan menyuruhku duduk. Tentu saja aku akan menurut dan beralih untuk memandangi jam di dapur yang berjalan 10 menit lebih lambat. Beruntung sekali ibuku ini pintar. Ibu akan mengajakku bermain tebak-tebakan untuk menghabiskan waktu. Ketika adonan-adonan itu mulai mengembang di balik oven, begitu pula senyuman ibuku. Ia akan bergegas mengenakan sarung tangan dan mengeluarkan loyang dari oven dengan hati-hati. Aku biasanya akan mencomotnya sedikit sebelum memasukkannya ke dalam stoples kaca.
Sampai suatu ketika aku jarang melihat ibu berkutat di dapur selama dua minggu ini. Rupanya mixer kesayangan ibu dipinjam oleh tetanggaku. Asing sekali rasanya tidak melihat noda tepung di celemek ibu. Tidak ada harum vanili yang menguar ke penjuru dapur, dan aku rindu bunyi mixer ibu yang biasa menggerung-gerung keras itu. Aku menggerutu kesal. Sudah cukup lama mixer ibu tidak dikembalikan. Ini berarti aku tidak bisa menikmati kukis red velvet di akhir pekan.Aku berusaha untuk tidak memikirkannya dan beraktivitas seperti biasa.
Namun, sore itu aku mencium bau tidak sedap dari rumah tetanggaku saat bermain bola di dekat rumahnya. Aku memberi isyarat pada temanku untuk berhenti sejenak dan menghampiri jendela di samping kiri rumah yang dibiarkan terbuka. Kulihat mixer ibu bergerak-gerak memberontak dari genggaman tetanggaku. Banyak sisa-sisa tepung dan telur yang berserakan dan mengeluarkan bau busuk. Ugh, aku segera menutup hidung. Rasanya perutku mual sekali. Sekilas aku juga melihat bubuk bahan kimia dan pewarna tekstil diletakkan di meja dekat jendela. Aku terkejut sekali melihatnya.
Tiba-tiba mixer itu mengeluarkan bunyi-bunyian aneh dan bergerak makin cepat. Berputar-putar bertabrakan di dalam wadah penuh adonan hingga membuatnya pecah berantakan. Tetanggaku kaget dan terjatuh. Tetapi mixer itu tidak peduli dan tidak berhenti berputar. Cepat cepat aku berlari dan memanggil ibu. Tak lama ibuku datang dan bergegas mencabut kabel listrik lalu mengambil mixer kesayangannya. Ibu terlihat marah dan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Matanya melihat ke sekeliling dapur itu dan membayangkan hal buruk yang telah dilakukan oleh tetanggaku. Sepertinya ibu memberi mantra pada mixer itu agar orang tidak memakainya sembarangan.
Jahat sekali ya tetanggaku itu.